Stop Berpikir bahwa Membaca Itu Gampang.
Gimana, agak tergilitik dengan pernyataan di atas?
Saya pikir membaca itu ya sekadar aktivitas biasa. Nyatanya, nggak. Membaca lebih kompleks lagi. Saya keliru kalau bilang membaca itu gampang. Saya pernah meminta anak-anak saya membaca. Mereka bebas mencari buku yang mau mereka baca. Mereka memilih bacaan yang halamannya sedikit. Mungkin biar gampang. Namun, jelas ini pemikiran yang keliru.
1. “Tidak mau membaca” dengan “tidak mampu membaca”
Mampu membaca nggak lagi ngomongin berapa banyak buku yang kita baca, melainkan apakah aktivitas baca kita berkualitas atau tidak. Banyak yang mengaku buku yang dibacanya sudah buuanyak, tapi pas ditanya dapat apa, nggak bisa jawab. Dia berarti belum bisa baca. Orang seperti ini nggak perlu dipuji.
Mau membaca itu tentang mentalitas atau sikap (attitude), sedangkan mampu membaca itu menunjuk pada keterampilan (skill). Bisa membaca dan mampu membaca juga beda. Sama-sama menunjuk keterampilan, tetapi tingkatannya beda. Bisa membaca menunjuk pada keterampilan mekanis membaca seperti pengenalan bentuk huruf, pengenalan hubungan antar huruf atau pola ejaan denganbunyi dan pengenalan unsur linguistik lainnya. Lebih dari itu, mampu membaca merujuk pada keterampilan pemahaman dari yang sederhana, hingga memahami signifkansi atau makna dan mengevaluasi isi/bentuk.
2. Membaca untuk memperoleh informasi vs membaca untuk memperoleh pemahaman.
Sepintas tidak ada bedanya ya. Kita dapat informasi dan kita harus memahami informasi tersebut. Supaya kita dapat bedanya, coba bandingkan kalau kamu baca koran atau artikel berita dengan membaca buku. Kalau kita baca koran atau berita, informasi yang kita dapat tambah, tetapi pemahaman kita nggak meningkat signifikan. Kenapa? Karena pemahaman yang kita punya sudah sama jauh dengan yang kita baca, makanya kita paham dengan cepat meski kita baca sekilas.
Lain halnya dengan buku, kita lagi baca sesuatu yang tidak (belum) dapat kita pahami seluruhnya sejak awal. Waktu kita membaca buku, maka pengetahuan yang ada di buku masih mengungguli pengetahuan kita sehingga kita berusaha memahaminya lebih lanjut.
Saya baru sadar, kenapa orang sekarang lebih betah nonton video pendek seperti di media sosial saat ini. Ya, karena kiat tinggal disuapi aja sama content creator-nya. Dibantu dengan visual yang menarik atau sesuai, sehingga kita nggak perlu berimajinasi, nggak perlu banyak mikir. Makanya sekarang istilah brain rot makin popular, toh. Fokus kita gampang hilang, nggak bisa baca teks yang panjang dan proses berpikir kita nggak lagi mendalam.
Kalau membaca? Buku kita didominasi teks dan kita sudah nggak terbiasa lagi dengan itu. Kita nggak mau lagi diajak mikir. Akhirnya, di bayangan kita, membaca itu adalah aktivitas yang membosankan.
Lalu, kenapa membaca itu bukan kegiatan yang gampang?
Membaca itu aktivitas yang kompleks, butuh keterampilan dan melibatkan banyak aspek. Membaca berarti berpikir. Nggak ada gunanya mengharapkan pembacaan buku yang mudah, nanti kita malah nggak dapat apa-apa. Hal yang sulit, bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi. Kesulitan adalah tantangan, bukan hambatan.
Cara sederhana yang bisa kita gunakan supaya aktivitas membaca kita lebih efektif adalah dengan menandai atau membuat anotasi di buku yang kita baca. Selama ini kita dilarang buat corat-coret buku, padahal itu bukan sebuah kejahatan. Coba ingat-ingat lagi masa-masa kamu sekolah dan pakai buku milik sekolah, entah itu buku cetak atau buku yang kalian pinjam dari perpustakaan.Pasti gurumu bakal ingetin kamu, supaya tidak mencoret-coret buku. Kalau dilanggar bagaimana? Kamu bisa kena denda atau bahkan disuruh ganti. Terus coba kaitkan pengalaman itu dengan sekarang. Kalau kamu baca buku, kamu ada ketakutan buat nyoret, nggak?
Sekarang saya mau bilang kalau itu coret-coret buku itu sah-sah aja, kenapa? Karena nggak ada larangan untuk menandai bacaan kita. Dengan menandai (anotasi) membuat aktivitas baca kita lebih efisien. Dan ternyata, menghukum murid yang menandai bacaannya itu bisa menumbuhkan sikap anti-marginalia (tidak boleh membuat coretan/catatan di margin buku), bahkan fobimarginalia alias berubah menjadi ketakutan. Padahal, coretan-coretan itu adalah bukti dari pembaca yang berpikir.
Ada beberapa alasan kenapa menandai buku itu penting dan kamu nggak perlu merasa bersalah.
1. Membaca buku itu kegiatan aktif.
Supaya kita tidak melewatkan bagian-bagian penting, maka kita butuh tangan dan pena untuk mencatat bagian-bagian penting itu, entah itu berupa istilah, dalil-dalil, pesan, atau argumen-argumen yang menarik dan sesuai dengan tujuan kita membaca.
2. Membaca adalah sebuah aktivitas berpikir.
Namanya juga berpikir, pasti kita akan berkomentar, menyimpulkan, menyetujui atau tidak, mengekspresikan keheranan, kekaguman dan berbagai ekspresi lainnya. Terlebih lagu kalau bacaan kita bisa menyentuh beragam emosi yang kita punya, membuat kita meninggalkan semakin banyak catatan-catatan atau tanda di dalam buku tersebut.
3. Membaca adalah aktivitas yang bertujuan.
Ketika kita membaca, kita akan selalu punya tujuan. Kita ingin memperoleh sesuatu yang berharga (dalam konteks ini bukan sekedar iseng atau mengisi waktu luang). Kalau sudah ketemu, nggak mungkin ingin lalu begitu saja, kan?
4. Membaca adalah aktivitas komunikasi
Sadar atau tidak, ketika kita membaca, kita sedang bercakap-cakap dengan penulis. Nah, seaktu kita menandai bacaan kita, kita menciptakan komunikasi dua arah. Artinya, kita bukan cuma menerima, tetapi juga mempertanyakan atau mengakui perbedaan atau kesesuaian pendapat antara kita dan penulis.
5. Ingatan kita terbatas.
Ya, daya setiap kita kan beda-beda, ya. Kalau kamu bisa mengingat bagian penting yang kamu cari setelah selesai membaca buku, bagus, tapi kalau kamu ragu, baiknya berikan tanda. Tanda itu jadi arsip kamu, supaya kamu tidak perlu baca ulang dari awal-akhir.
6. Menandai buku adalah bukti pemahaman kita akan isi buku.
Ini adalah bentuk pertanggungjawaban kita atas buku tersebut. Bukan masalah fisik bukunya, tetapi jiwa dari buku tersebut, yakni isinya. Percuma fisik bukunya bagus, tetapi kita nggak dapat apa-apa. Di sini bukan berarti maksudnya bukunya sengaja di lecet-lecetin, ya.
7. Menandai buku adalah bukti kepemilikan.
Nggak ada larangan untuk menandai bacaan kita. Jadi, sah-sah saja kalau kita mau buat tanda dengan cara apapun. Kita punya hak atas buku kita. Yang perlu diingat, tandai bukumu sendiri, jangan milik orang lain.
Kesimpulannya, sekalipun banyak yang bilang kalau membaca itu gampang. Tapi, nyatanya enggak. Kalau gampang, kita pasti doyan baca buku. Mungkin tujuan yang bilang itu baik, tetapi memang harus memperhatikan konteksnya dulu. Banyak orang ‘bisa’ baca, tapi belum tentu paham yang ia baca. Di sinilah letak tantangannya dalam membaca. Namun, mirisnya, bukannya tertantang, kita malah meninggalkan buku-buku begitu saja. Mau baca buku, sekarang bisa andalin AI untuk nge-ringkas. Malas baca, yaudah, dengerin video-video singkat tentang buku itu. Nggak heran, kalau potongan-potongan informasi itu kita tangkap begitu saja tanpa telaah lebih lanjut.
Buku belum bisa digantikan oleh video-video YouTube, potongan video tiktok, podcast buku, ringkasan buku di internet. Kita harus baca sendiri dan pahami sendiri. Berdialoglah dengan penulis buku itu melalui buku yang kamu baca. Jangan lihat buku dan aktivitas membaca sebagai kegiatan yang membosankan. Cari buku yang kamu suka dan berbahagialah.
Referensi: Buku Seni Membaca Buku karya Iswara Rintis Purwantara, penerbit Andi (2023)
Selamat Membaca dan Berbahagia

Judul: Seni Membaca Buku
Penulis: Iswara Rintis Purwantara
Editor dan Setting: Aldila
Desain Sampul: Ferryan Nugroho
Ukuran: 16 cm x 23 cm
Halaman: 402 Halaman
Tahun terbit: 2021
Penerbit : Penerbit Andi
ISBN: 978-623-01-2821-9